MAKALAH
SEJARAH RUNTUHNYA BANI UMAYYAH
Diajukan sebagai syarat memenuhi tugas mata
kuliah
Dosen Pembimbing :
Dra. Hj. Lailatul Maghfiroh, M. Pd. I
Disusun Oleh :
Ansoriyadi
JURUSAN AL-AHWAL AS-SYAHSIYYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS SUNAN GIRI SURABAYA
2011
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah yang telah memberikan
rasa cinta dan kasih sayang kedalam sanubari setiap kehidupan yang tidak akan
pernah terkikiskan oleh gejolaknya zaman sehingga dengan rasa cinta dan kasih
sayangnya lah membawa kita kepada pemikiran-pemikiran yang slalu diridhoinya
yang berupa penyusunan makalah ini yang bertemakan SEJARAH RUNTUHNYA BANI
UMAYYAH Sesuai dengan harapan yang kita
inginkan..
Sholawat dan salam semuga tetap tercurah
limpahkan kepada nabi kita nabi besar Muhammad SAW, karena denga berkat
perjuangan beliau kita dapat terangkis dari alam jahiliya menuju alam
kemahiran, sehingga kita dapat menikmati ilmu yang dengan baik seperti apa yang
kita rasakan sekarang ini.
Melihat kemanpuan kami yang kurang, kami yakin
dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan , maka dari itu , kami
sangat butuh saran dan kritik yang bersifat membangun yang mampu membawa kami
kepada kesempurnaan makalah ini.
Sidoarjo, 30 Maret 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman judul …………………………………………………… i
Kata pengantar …………………………………………………… ii
Daftar isi …………………………………………………… iii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………… 1
A. Latar Belakang -------------------------------------------------- 1
B. Rumusan Masalah --------------------------------------------------- 1
BAB II PEMBAHASAN -------------------------------------------------- 2
A. kemunduran -------------------------------------------------- 2
BAB III PENUTUP …………………………………………………... 9
Kesimpulan
………………………………………………….. 9
Daftar
Pustaka -------------------------------------------------- 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Daulah Bani
Umayyah mempunyai peranan penting dalam perkembangan masyarakat di bidang
politik, ekonomi dan sosial.hal ini didukung oleh pengalaman politik Mu`awiyah
sebagai Bapak pendiri daulah tersebut yang telah mampu mengendalikan situasi
dan menepis berbagai anggapan miring tentang pemerintahannya. Kekuasaan Daulah
Umayyah dapat bertahan karena ditopang oleh paham kesukuan yang muncul sejak
terjadinya tragedy terbunuhnya Utsman. Kekuasaaan Daulah Umayyah ini selalu
membawa bendera suku Quraisy yang tidak dapat dilepaskan.Dan didukung pula
adanya pribadi yang tangguh dalam menghadapi berbagai kekacauan yang terjadi
dan dapat mengontorol wilayah yang jauh dari pusat kekuasaan.Pemerintahan ini
juga mampu memposisikan paham kekuasaan absolute dalam batas yang masih
terkontrol. Hal ini didukung oleh makin koopratifnya kelompok Islam yang lain
terhadap pemerintah. Sedangkan dalam kehidupan sosial, kekuatan yang berpaham
keislaman yang pada masa Ali berlawanan dengan paham kesukuan, pada masa Daulah
Umayyah justru berpaling mendukung Mu`awiyah.Hal ini disebabkan karena Daulah
Umayyah tidak menampakkan permusuhan dengan paham-paham keislaman, yang
sesungguhnya merupakan strategi penguasa untuk menghindari terjadinya kekacauan
akibat berkembangnya paham kesukuan. Namun berdirinya Daulah Umayyah (661-750)
tidak semata-mata peralihan kekuasaan, namun mengandung banyak implikasi, di
antaranya adalah perubahan beberapa prinsip dan berkembangnya corak baru yang
sangat mempengaruhi imperium dan perkembangan umat Islam. Walau pada awalnya
Daulah Umayyah tidak mempunyai arah politik khilafah yang jelas, namun kelompok
ini memiliki elatisitas dalam menghadapi perkembangan sosial. Hal ini
dibuktikan dengan kemampuan mereka bekoalisi dengan 3 kelompok lain, yaitu
kekuatan kesukuan, gerakan oposan dan paham keislaman secara umum, yang
tercermin dalam segala aspek, meliputi aspek pemerintahan, aspek ekonomi dan
sosial kemasyarakatan.
Dari berbagai
kemajuan yang dicapai Daulah Bani Umayyah yang dimulai oleh pendiri daulah
tersebut yakni Mu`awiyah Bin Abi Sufyan, ternyata tidak mampu membuat Daulah
tersebut langgeng, bahkan ia akhirnya jatuh menyisakan puing-puing kehancuran
setelah munculnya kekuatan baru dari Bani Abbasiyah
B. Rumusan
masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis akan bahas
dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa faktor-faktor kemunduran Daulah Bani
Umayyah?
2.
Apa Sebab-sebab kehancuran Daulah Bani Umayyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemunduran
Mu`awiyah
mendirikan Daulah Umayyah pada tahun 41 H di Damaskus, dengan berdirinya pusat
pemerintahan Islam yang baru tersebut berarti bergeserlah pusat pemerintahan
Islam dari Madinah ke Damascus. Perpindahan ibu kota tersebut terjadi melalui
proses yang panjang didukung oleh strategi politik yang dibangun oleh Mu`awiyah.
Dan Mu`awiyah memperoleh pengalaman politik dalam masa yang cukup lama, yakni
mulai masa Rasulullah SAW sampai masa khalifah yang terakhir.[1] Dengan
berdirinya Daulah Umayyah, maka sistem politik dan pemerintahan berubah.
Pemerintahan khalifah tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses
pergantian khalifah-khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara
turun-temurun melalui pemilihan, seorang khalifah tidak lagi harus sekaligus
pemimipin agama sebagimana khalifah-khalifah sebelumnya.Urusan agama diserahkan
kepada para ulama, dan ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang
perlu oleh khalifah.[2] Selama
masa pemerintahan dan kekuasaan khalifah pertama (Mu`awiyah), Daulah Umayyah
banyak mencapai keberhasilan, terutama penaklukan sejumlah kota penting di
kawasan Asia Tengah, seperti Kabul, Heart dan Gazna. Dalam pemerintahan, ia
mendirikan beberapa departemen yang mengurus masalah-masalah kepentingan umat,
seperti playanan pos, pembagian tugas pemerintahan pusat dan daerah, pemungutan
pajak dan pengangkatan gubernur-gubernur di daerah.Kalau ditelusuri lebih jauh
daulah tersebut berkuasa hampir satu abad, tepatnya selama 90 tahun, dengan 14
orang khalifah. Yang dimulai oleh Mu`awiyah Ibn Abi Sufyan dan ditutup oleh
Marwan Ibn Muhammad.Diantara mereka ada pemimpin-pemimpin besar yang berjasa di
dalam berbagai bidang sesuai dengan kehendak zamannya, sebaliknya ada pula
khalifah yang tidak patut dan lemah. Adapun urutan khalifah Daulah Umayyah
adalah sebagai berikut:[3]
1.
Mu`awiyah Bin Abu Sufyan
2.
Yazid Bin Mu`awiyah (Abu Khalid al-Umawi)
3.
Mu`awiyah Bin Yazid
4.
Abdullah Bin Zubair
5.
Abdul Malik Bin Marwan
6.
Al-Walid Bin Abdul Malik
7.
Sulaiman Bin Abdul Malik
8.
Umar Bin Abdul Malik
9.
Yazid Bin Abdul Malik Bin Marwan
10.
Hisyam Bin Abdul malik
11.
Al-Walid Bin Yazid Bin Abdul Malik
12.
Yazid An-Naqish, Abu Khalid Bin Al-Walid
13.
Ibrahim Bin Al-Walid Bin Abdul Malik
14.
Marwan Bin Muhammad, Al-Himar
Empat orang
khalifah memegang kekuasaan sepanjang 70 tahun, yaitu: Mu`awiyah, Abdul Malik,
Al-Walid I dan Hisyam. Sedangkan sepuluh khalifah sisanya hanya memerintah
dalam jangka waktu 20 tahun saja. Dan para pencatat sejarah umumnya sependapat
bahwa khalifah-khalifah terbesar mereka ialah: Mu`awiyah, Abdul Malik dan Umar
Ibn Abdul Aziz.[4]
Untuk memelihara keutuhan dan mencegah perpecahan umat Islam karena suksesi
kepemimpinan, sebagaimana yang pernah ia saksikan pada masa beberapa khalifah
sebelumnya, Mu`awiyah mencalonkan putranya, Yazid sebagai putra mahkota yang
akan menggantikan kedudukanya jika ia meninggal, pencalonan tersebut
dilakukannya pada tahun 679. untuk mengamankan pencalonann itu, Mu`awiyah
melakukan bebagai pendekatan kepada para pemuka masyarakat hingga seluruh
lapisan masyarakat.[5]
Namun rencana tersebut mendapat tantangan dari beberapa pihak, terutama
pemuka-pemuka masyarakat hijaz, sepeerti Abdullah bin Umar, Abdul Rahmn bin Abi
Bakar, Husein bin Ali, Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas. Penolakan
mereka didasari atas suatu keinginan agar khalifah yang diangkat tidak melalui
penunjukan, melainkan dengan musyawarah sebagaimana yang pernah diperaktekkan
oleh khalifah-khalifah sebelumnya. Setelah Mu`awiyah wafat, Daulah ini harus
berusaha keras mempertahankan posisinya yang goyah, kondisi politik tidak
stabil, banyak kelompok masyarakat yang tidak puas dengan raja baru yang
sebelumnya telah dinobatkan sebagai putera mahkota. Pengangkatan putera mahkota
ini mengakibatkan munculnya gerakan-gerakan oposisi dari kalangan sipil yang menyebabkan
terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkepanjangan.
Maka setelah
Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan
setia terhadapnya meskipun pada akhirnya terpaksa tunduk juga, kecuali Husain
Ibn Ali dan Abdullah Ibn Zubair.Bersamaan dengan itu, Syi`ah (pengikut Ali)
melakukan konsilidasi (penggabungan) kekuatan kembali.Perlawanan terhadap Bani
Umayyah dimulai oleh Husain Ibn Ali pada tahun 680 M. namun tentara Husain
kalah dan dia sendiri terbunuh dalam pertempuran yang tidak seimbang, kepalanya
dipenggal dan dikirim ke Damaskus, sedang tubuhnya di kubur di Karbala. Perlawanan
kaum Syi`ah tidak padam dengan terbunuhnya Husain, bahkan mereka menjadi lebih
keras, lebih gigih dan tersebar luas. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum
Syi`ah terjadi, diantaranya terjadinya pemberontakan Mukhtar di Kufah yang
mendapat dukungan dari kaum Mawali pada tahun 685-687 M. selain itu Bani
Umayyah juga mendapat tantangan dari kaum Khawarij, dan meskipun
gerakan-gerakan anarkis yang dilancarkan baik dari pihak syi`ah maupun dari
khawarij dapat dipatahakan oleh Yazid tetapi tidak berarti menghentikan gerakan
oposisi dalam pemerintahan Bani Umayyah.
Dan hubungan
pemerintahan dan golongan oposisi membaik pada masa pemerintahan Umar bin Abdul
Aziz (717-720). Dia berhasil menjalin hubungan baik dengan golongan Syi`ah, dia
juga memberi kebebasan kepada penganut agama lainnya untuk beribadah sesuai
keyakinan dan kepercayaannya, pajak diperingan, kedudukan Mawali disejajarkan
dengan muslim Arab. tetapi sayang sekali angin kedamain yang berhebus dari
pesona kepemimpinan Umar yang adil dan bijaksana ini tidak berlangsung lama,
hanya lebih kurang dua tahun memerintah kemudian beliau meninggal dunia.
Penggantinya adalah Yazid Ibn Abd. Malik (720-724) Khalifah ini jauh berbeda
dengan khalifah sebelumnya, ia terlalu gandrung kepada kemewahan dan kurang
memperhatikan rakyat, sehingga kerusuhan terus berlangsung hingga masa
pemerintahan Hisyam Ibn Abd. Malik (724-743). Bahkan dizaman ini mucul satu
kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahahn Bani Umayyah.
kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan
Mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius dalam perkembangan berikutnya
kekuatan baru ini mampu menggulingkan Daulah Umayyah dan mengantinya dengan
Daulah baru, yakni Daulah Bani Abbasiyyah.Sepeniggal Hisyam Ibn Abd. Malik,
khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga
bermoral buruk.Hal ini makin memperkuat golongan oposisi.Akhirnya pada tahun
750 M Daulah Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim
al-Khurasani. Marwan Bin Muhammad khalifah terakhir bani Umayyah, melarikan
diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh disana
Dari berbagai
kesuksesan dan kebesaran yang telah diraih oleh Bani Umayyah ternyata tidak
mampu menahan kehancurannya, akibat kelemahan-kelemahan internal dan semakin
kuatnya tekanan dari fihak luar. Adapun hal-hal yang membawa kemunduran yang
akhirnya berujung pada kejatuhan Bani Umayyah dapat diidentifikasikan antar
lain sebagai berikut:
1.
Pertentangan keras antara suku-suku Arab yang
sejak lama terbagi menjadi dua kelompok, yaitu Arab Utara yang disebut Mudariyah
yang menempati Irak dan Arab Selatan Himyariyah yang berdiam di wilayah
Suriah. Di zaman Umayyah persaingan antar etnis itu mencapai puncaknya,
karena para khalifah cederung kepada satu fihak dan menafikan yang lainnya.
2.
Ketidak puasan sejumlah pemeluk Islam non Arab.
Mereka yang merupakan pendatang baru dari kalangan bangsa-bangsa yang
dikalahkan mendapat sebutan “Mawali”, suatu stastus yang menggambarakan
inferioritas di tengah-tengah keangkuhan orang-orang Arab yang mendapat
fasilitas dari penguasa Umayyah. Mereka bersama-sama Arab mengalami
beratnya peperangan dan bahkan atas rata-rata orang Arab, tetapi harapan mereka
untuk mendapatkan tunjangan dan hak-hak bernegara tidak dikabulkan. Seperti
tunjangan tahunan yang diberikan kepada Mawali ini jumlahnya jauh lebih kecil
dibanding tunjangan yang dibayarkan kepada orang Arab.
3.
Latar belakang terbentuknya kedaulatan Bani
Umayyah tidak dapat dilepaskan dari konflik-konflik politik. Kaum syi`ah dan
khawarij terus berkembang menjadi gerakan oposisi yang kuat dan sewaktu-waktu
dapat mengancam keutuhan kekuasaan Umayyah. Disamping menguatnya kaum
Abbasiyah pada masa akhir-akhir kekuasaan Bani Umayyah yang semula tidak
berambisi untuk merebut kekuasaan, bahkan dapat menggeser kedudukan Bani
Umayyah dalam memimpin umat.
B. Kehancuran
Secara
Revolusioner, Daulah Abbasiyyah (750-1258) menggulingkan kekuasaan Daulah
Umayyah, kejatuhan Daulah Umayyah disebabkan oleh beberapa factor, diantaranya
meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali terhadap Daulah Umayyah, pecahnya
persatuan antarasuku bangsa Arab dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan
keinginana mereka untuk memilki pemimpin karismatik. Sebagai kelompok penganut
islam baru, mawali diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara bangsa
Arab menduduki kelas bangsawan. Golongan agamis merasa kecewa terhadap
pemerintahan bani Umayyah karena corak pemerintahannya yang sekuler.Menurut
mereka, Negara seharusnya dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas
keagamaan dan politik. Adapun perpecahan antara suku bangsa Arab,
setidak-tidaknya ditandai dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab utara, yakni
kelompok Mudariyah dengan kesukuan Arab Selatan, yakni kelompok Himyariyah.
Disamping itu, perlawanan dari kelompok syi`ah merupakan faktor yang sangat
berperan dalam menjatuhkan Daulah Umayyah dan munculnya Daulah Abbasiyyah.
Namun secara garis besar menurut Badri Yatim
faktor yang menyebabkan Daulah Bani Umayyah lemah dan membawanya kepada
kehancuran antara lain adalah :
1.
Sistim pergantian khalifah melalui garis
keturunan adalah merupakan sesuatu yang baru bagi tradisi Arab yang lebih menekankan
aspek senioritas. Pengaturannya tidak jelas. Ketidakjelasan sistem pergantian
khalifah ini menyebabkan terjadinya persaingan yang tidak sehat dikalangan
anggota keluarga istana
2.
Latar belakang terbentuknya Daulah Bani Umayyah
tidak bisa dipisahkan dari konflik-konflik politik yang terjadi di masa Ali.
Sisa-sisa kaum Syi`ah (pengikut Ali) dan Khawarij terus menjadi gerakan
oposisi, baik secara terbuka seperti dimasa awal dan akhir maupun secara
tersembunyi seperti dimasa pertengahan kekuasaan Bani Umayyah. Penumpasan
terhadap gerakan-gerakan ini banyak menyedot kekuatan pemerintah.
3.
Pada masa kekuasaan bani Umayyah, pertentangan
etnis antara suku Arabia Utara (Bani Qays) dan Arabia Selatan (Bani Kalb) yang
sudah ada sejak zaman sebelum Islam, makin meruncing. Perselisihan ini
mengakibatkan para penguasa Bani Umayyah mendapat kesulitan untuk menggalang
persatuan dan kesatuan. Disamping itu, sebagian besar golongan Mawali (non
Arab), terutama di Irak dan wilayah bagian timur lainnya, merasa tidak puasa karena
status Mawali itu menggambarkan suatu inferioritas, ditambah dengan keangkuhan
bangsa Arab yang diperlihatkan pada masa Bani Umayyah
4.
Lemahnya pemerintahan Daulat Bani Umayyah juga
disebabkan oleh sikap hidup mewah dilingkungan istana sehingga anak-anak
khalifah tidak sanggup memikul beban berat kenegaraan tatkala mereka mewarisi
kekuasaan, disamping itu, golongan agama yang kecewa karena perhatian penguasa
terhadap perkembangan agama sangat kurang
5.
Penyebab langsung tergulingnya kekuasaan Daulah
Bani Umayyah adalah munculnya kekuatan baru yang dipelopori oleh
keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib. Gerakan ini mendapat dukungan penuh
dari Bani Hasyim dan golongan Syi`ah dan kaum Mawali yang merasa dikelas duakan
oleh pemerintahan Bani Umayyah.[6]
Dari uraian kemunduran dan kehancuran Daulah
Bani Umayyah diatas, hal ini merupakan sunnatullah bahwa setiap kekuasaan dan
peradaban akan mencapai puncak kemajuannya, dan akan menelusuri jurang
kehancurannya dikemudian hari. ÙˆَتِÙ„ْÙƒَ الأَÙŠَّامُ
Ù†ُدَاوِلهْاَ بَÙŠْÙ†َ النَّاسِ…[7]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.
Diantara faktor-faktor yang membawa Daulah Bani
Umayyah mengalami kemunduran adalah sebagai berikut:
- Munculnya
fanatisme kesukuan dalam suku-suku bangsa Arab
- Kuatnya pengaruh fanatisme
golongan (Arabisme) yang memicu munculnya kecemburuan sosial dikalangan non
Arab (Mawali)
-
Adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga besar Bani Umayyah
-
Larutnya beberapa penguasa (khalifah) dalam limpahan harta dan kekuasaan
1.
Adapun faktor-faktor yang membawa Daulah Bani
Umayyah ke gerbang kehancuran adalah sebagai berikut:
- Tidak adanya sistem pergantian
pemerintah (khalifah) yang baku yang bisa dijadikan patokan dalam pergantian
khalifah
-
Kuatnya gerakan oposisi dari kaum Syi`ah dan Khawarij
- Perselisihan dan pertentangan
etnis antara suku Arab yang mengakibatkan para penguasa mendapat kesulitan
untuk menggalang persatuan dan kesatuan
-
Sikap hidup yang mewah dilingkungan keluarga Bani Umayyah
-
Perhatian penguasa Bani Umayyah terhadap perkembangan agama sangat kurang
- Munculnya kekuatan baru yang
dipelopori oleh keturunan al-Abbas Ibn Abd. Al-Muthalib dan didukung oleh
Bani Hasyim, kaum Syi`ah dan kaum Mawali.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.Yatim Badri,MA. Sejarah peradaban islam,Ed- 1-20, PT.Grafindo Perseda;
Bandung:2008
Al-Qur`an Al-Karim dan Terjemahannya
As-Suyuthi, Imam, Tarikh Khulafa`; Sejarah
Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin, Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I,
Pustaka Al-Kautsar; Jakarta: 2001),h. 229 – 304
Ensiklopedi Islam Vol. 3 (Cet. XIII, PT.
Ichtiar Van Hove; Kakarta: 2003), h. 248
Muchtar Ghazali, Adeng, Drs. M.Ag, Perjalanan
Politik Umat Islam dalam Lintasan Sejarah (Cet.I, CV.Pustaka setia;
Bandung: 2004), h. 52
Mufrodi, Ali, Dr., Islam di Kawasan
Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M) h. 72
Yatim, Badri , M.A, Dr., Sejarah
Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, (Cet. XII, PT. Raja Grafindo
Persada; Jakarta: 2001), h. 45
Yujah Sawiy, Khairudin, Perebutan Kekuasaan
Khalifah, Minyingkap dinamika dan sejarah politik kaum sunni, (Cet.II,
Safria Insani Press: Yogyakarta: 2005), h. 11
BAB
II
PEMBAHASAN
A.pengertian mawaris
Kata Al
Mawarits adalah jamak dari kata Mirots, yaitu harta peninggalan dari orang yang
meninggal untuk ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan
Al Muwaaritsu, sedang ahli waris disebut dengan Al-Warits. Al Faraidh adalah kata jamak bagi al
fariidhoh artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Perkataan Al-Fardhu, sebagai
suku kata dari lafad fariidhoh.Fara’idh dalam arti mawaris, hukum waris
mewaris. Dimaksud sebagai bagian atau ketentuan yang diperoleh oleh ahli waris
menurut ketentuan syara’.Ilmu Fara’idh dapat didefiniskan sebagai ilmu
pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli
waris.Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab ilmu mawarits
adalah nama lain bagi iIlmu Fara’idh. Untuk mengetahui siapa-siapa yang
memperoleh harta waris, maka perlu diteliti terlebih dahulu ahli-ahli waris
yang ditinggalkan.
.Sumber
hukum Islam tentang waris adalah asal hukum islam tentang waris. Sumber Hukum
Islam tersebut adalah:
1. Al Qur’an
2. As Sunah
3.Ijma’
4. Ijtihad
4. Ijtihad
a.Rukun-rukun waris
1)Muwarrits
Yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal dunia secara
hakiki, atau akarena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan beberapa
sebab.
2) Mauruts
Yaitu harta peninggalan si mati yang akan dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan , hutang-hutang, zakat dan
setelah digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga Mirots, Irts ,Turots Dan
Tarikah.
3)Warits
Yaitu orang yang akan mewarisi, yang akan mempunyai hubungan dengan si
Muwarits, baik hubungan itu karena hubungan itu kekeluargaan atau
perkawinan.
1. Pengertian Ahli
Waris
Ahli waris ada dua macam, pertama,
ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya
didasarkan karena hubungan darah (kekerabatan). Kedua, ahli waris sababiyah
yaitu ahli waris yang hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab
pernikahan dan memerdekakan budak, atau menurut sebagian mazhab Hanafiyah,
karena sebab perjanjian (janji setia). Yang terakhir ini, di Indonesia tidak lagi populer,
karena hampir tidak pernah diketahui ada yang mempraktekkannya. Dalam rumusan
kompilasi, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai
hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan
tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (pasal 171 huruf c KHI).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ahli waris oleh kompilasi, adalah mereka
yang jelas-jelas mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, tidak
ada halangan untuk mewarisi (tidak ada mawani’ al-irs).
Adapun yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang
pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan (pasal
171 huruf b KHI). Harta peninggalan atau tirkah adalah harta yang
ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya
maupun hak-haknya (pasal 171 huruf d KHI). Ini dibedakan dengan harta warisan
yang siap dibagi waris, yaitu harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama
setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya,
biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk
kerabat (pasal 171 huruf e KHI).
D.Golongan Ahli Waris
Dalam
hukum kewarisan Islam mengenal golongan Ahli waris yang
ditinjau
dari berbagai segi. Antara lain. Dari jenis kelamin laki-laki dan
perempuan ditinjau dari bagianya, dzawil furud dan dzawil
asabah yang
masing-masing bagianya ditetapkan dalam sistem pewarisan.
a. Golongan Ahli Waris Laki-laki
Di tinjau dari jenis kelamin laki-laki ahli waris
berjumlah
14(empat belas) golingan yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki ( anak laki-laki dari anak laki-laki)
3) Bapak
4) Kakek
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seibu
7) Saudara laki-laki sebapak
8) Anak laki-laki dari saudara laki-laki
9) Anak laki-laki dari saudara sebapak
10) Paman ( saudara laki-laki bapak yang sekandung)
11) Paman ( saudara laki-laki yang sebapak)
12) Anak laki-laki dari paman yang sebapak dengan bapak
13) Anak laki-laki dari paman yang sebapak dengan ayah
14) Suami
Apabila ahli waris tersebut semua ada maka yang berhak
mendapatkan bagian dari harta peninggalan adalah hanya
tiga saja yaitu:
1) anak laki-laki
2) bapak
3) suami
b. Ditinjau Dari Jenis Kelamin Perempuan
Ditinjau dari jenis kelamin perempuan terdiri dari 9
golongan ahli waris yaitu:
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan
3) Nenek( ibu dari bapak)
4) Nenek (ibu dari ibu)
5) Saudara perempuan sekandung
6) Saudara perempuan sebapak
7) Saudara perempuan seibu
8) Istri
9) Ibu
Apabila ahli waris semua ada m aka yang berhak
memperoleh bagian dari harta peninggalan hanya 5 golongan
saja yaitu:
1) Istri
2) Anak perempuan
3) Cucu perempuan dari dari anak laki-laki
4) Ibu
5) Saudara Perempuan Sekandung
Apabila semua ahli waris ada baik laki-laki maupun
perempuan , maka yang berhak mendapatkan harta warisan
adalah 5 golongan saja yitu:
1) Suami/ istri
2) Ibu
3) Bapak
4) Anak laki-laki
5) Anak perempuan
1. Pengertian Dzawil furudFurudlu menurut istilah fiqih mawarits, ialah saham yang sudah
ditentukan jumlahnya untuk warits pada hartapeninggalan, baik dengan nash
maupun dengan ijma’.[1]Secara bebas, arti lugowi zawi al-furud adalah orang-orang yang
mempunyai saham (bagian) pasti. Secaraistilahi zawi al-furud adalah ahli waris yang sahamnya telah
ditentukan secara terperinci (seperdua, sepertiga,seperempat, seperenam atau
seperdelapan dari warisan ).[2]1. Ahli
warisMenurut jumhur ‘ulama, ahli
warits yang tergolong adalah:1. Suami, mendapat ½ jika tidak ada
anak (keturunan), dan ¼ jika ada keturunan.2. Istri, mendapat ¼
jika tidak ada anak (keturunan), dan 1/8 jika ada keturunan.3. Anak perempuan, mendapat ½ jika hanya satu orang dan
mendapat 2/3 jika dua orang atau lebih,menjadi asobah sekiranya ada anak aki-laki bagian laki-laki dua
kali bagian perempuan.4. Anak perempuan dari anak laki-laki,
½ kalau ia seorang saja, 2/3 kalau ada dua orang atau lebih,1/6 kalau ada anak kandung perempuan, ta’shib kalau ada
cucu laki-laki bagian laki-laki dua kalibaguian perempuan, dan tertutup oleh dua orang anak perempuan atau
oleh anak laki-laki.5. Ibu, 1/6 kalau ada anak, 1/3
kalau tidak ada anak atau dua orang saudara, 1/3 sisa ketika ahliwarisnya terdiri dari suami-ibu-bapak atau isteri-ibu-bapak.6. Ayah, 1/6 jika bersama anak laki-laki,
1/6 sisa jika bersama anak perempuan, ‘ashabah ketika tidak ada anak.7. Saudara perempuan kandung, ½
kalau ia seorang saja, 2/3 jika dua orang atau lebih, ta’shib jikabersama saudara laki-laki kandung, ‘ashabah kalau bersama anak
perempuan, tertutup jika ada ayahatau anak laki-laki seayah, bagiannya
laki-laki dua kali bagian perempuan.8.
Saudara
perempuan seayah, ½ jika seorang saja, 2/3 jika dua orang atau lebih, ta’shib
jika bersamasaudara laki-laki seayah, bagiannya laki-laki dua kali bagian
perempuan, ‘ashabah jika bersamaanak perempuan atau cucu perempuan, 1/6 jika bersama saudara
perempuan sekandung, terhalangoleh ayah atau cucu laki-laki atau saudara
laki-laki kandung atau saudara perempuan kandung yangmenjadi ‘ashabah.9.
Saudara perempuan atau laki-laki seibu,
1/6 kalu seorang (laki-laki/ perempuan), 1/3 kalu dua orangatau lebih (laki-laki/ perempuan), terhalang oleh anak laki-laki/
perempuan, cucu laki-laki, ayahatau nenek laki-laki.10. Kakek,
dibagi sama dengan saudara kalau yang dibagi lebih banyak dari 1/3.
kalau kurang dari 1/3 makabagian kakek 1/3 (kalau tidak ada waris lain
dzawil furudh), terhalang jika ada ayah.11. Nenek, 1/6 untuk seorang atau lebih
jika sederajat, terhalang jika ada ibu.
.
[3] . Imam
As-Suyuthi, Tarikh Khulafa`; Sejarah Penguasa Islam: Khulafa`urrasyidin,
Bani Umayyah, Bani Abbasiyyah, Cet. I, Pustaka Al-Kautsar; Jakarta:
2001),h. 229 – 304
[4] . Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan
Kebudayaanb Arab (Cet. II, Logos Wacana Ilmu; Jakarta: 1999 M) h. 72
[5] . Ensiklopedi Islam… Op. Cit., h. 248
[6] . Dr. Badri Yatim, M.A,…Op. Cit., h. 49
[7] . Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami
pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); … (Al-Qur`an S.
Ali Imran : 140)